Pertarungan itu menjadi salah satu yang paling dikenang oleh masyarakat Indonesia. Awalnya, duel Ali kontra Lubbers akan digelar di Surabaya, Jawa Timur, tapi kemudian dialihkan ke Jakarta dengan sejumlah alasan.
Ali yang seorang muslim tentu menjadi idola sekaligus pahlawan bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas juga muslim. Sementara Lubbers seolah representasi Belanda sebagai penjajah Indonesia yang mesti ditaklukkan.
“Lubbers jelas menjadi representasi kolonialisme Belanda, dan orang-orang Indonesia bersemangat melihat kemenangan politik mereka terulang di atas ring,” tulis Julio Rodriguez, “Documenting Myth” dalam Sports Matters: Race, Recreation, and Culture suntingan John Bloom dan Michael Nevin Villard.
Sebelum pertarungan, seperti biasa Ali melontarkan sesumbarnya akan menganvaskan Lubbers pada ronde kelima. Duel melawan Lubbers ini juga sebagai pemanasan sebelum Ali kembali meladeni pertarungan dengan rival abadinya, Joe Frazier.
Ali sebelumnya kalah dari Frazier pada 8 Maret 1971 di New York, Amerika Serikat, sekaligus kehilangan sabuk juara dunia kelas berat. Pertarungan lawan Lubbers di Jakarta menjadi salah satu persiapan petinju yang menjuluki dirinya The Greatest ini untuk balas dendam kepada Frazier.
Akhirnya Ali mampu mengalahkan Lubbers, unggul angka tapi tidak di ronde kelima seperti sesumbarnya. Lubbers bertahan selama 12 belas ronde.
“Salah satu hal yang paling diingat dari pertandingan ini adalah kapasitas Ali yang mampu menarik perhatian khalayak internasional. Ada 35.000 orang Indonesia datang untuk menonton. Ditambah pameran tentang Ali yang ikut menarik 45.000 orang untuk datang melihat-lihat,” tulis David West dalam The Mammoth Book of Muhammad Ali.
Ali sepertinya juga tidak pernah melupakan kemenangannya di Jakarta kala itu. Buktinya, setelah gantung sarung tinju, Ali beberapa kali menyambangi Indonesia untuk menyapa penggemarnya. Selamat jalan, Muhammad Ali.
0 Response to "Mengenang Pertarungan Muhammad Ali di Jakarta"
Posting Komentar